Pengemis Berkelas

17 05 2011

Saudara-saudara, sudah hampir genap 7 tahun saya berkeliaran di sekitaran ITB. Bukan…bukan karena saya mahasiswa abadi yang tak lulus-lulus sampai 7 tahun penyebabnya. Lagian kan sekarang waktu lulus di ITB sudah semakin diperketat. Mahasiswa ‘dicekik’ agar lulus cepat, lebih dari 6 tahun ditendang sudah.

7 tahun ini, karena saya bersekolah SMA di ‘tetangga’nya ITB, SMAN 1 Bandung. Nasib ternyata menggariskan saya kuliah ternyata disini-disini juga. Sudah bukan hal aneh lagi bila saya hafal kawasan Ganesha sampai ke akar-akarnya.

Yang paling terlihat adalah harga makanan, sejak Cipularang dibuka sangat terasa sekali lonjakan harga makanan di seputaran kampus. Imbas dari Jakarta yang daya beli masyarakatnya lebih tinggi ( baca: lebih punya uang), membuat harga jadi lebih mahal. Lima ribu sekarang tidak ada artinya dibanding dulu waktu SMA kelas 1.

Yang kedua yang dibahas adalah pengemis-pengemis di Salman. Mulanya saya sekolah, saya turut iba dan kadang-kadang memberi mereka uang. Lama-kelamaan, tahun berganti tahun, ternyata hidup mereka tidak berubah. 7 tahun sudah dan mereka tetap mengemis. Kalau saya amati, masih banyak diantara mereka yang badannya sehat dan seharusnya masih bisa bekerja. Untuk menjadi PRT masih okelah.

Ada bocah-bocah, yang dari kejauhan nampak sedang bercanda ria dengan temannya. Tertawa-tawa nampak bahagia sekali. Lama-kelamaan arah jalan saya makin mendekati mereka. Seketika mimik wajah mereka berubah. Lalu puncaknya menjadi wajah memelas. “A, kasih A. kasihan A..lapar…belum makan”. Waduh saya jadi merasa bersalah, jangan-jangan karena saya mendekat, mereka yang asalnya ceria kemudian berubah menjadi memelas dan lapar…haha.

Kemudian suatu hari, saya berjalan di samping Masjid Salman menuju kampus. Terus ada ibu-ibu pengemis yang seperti biasa duduk santai di pinggir jalan. Lho-lho-lho? saya terkaget sendiri karena dia berbicara sendiri. Tapi dii luar kebiasaan, bicaranya bukan “A…kasih…A” lagi, nampak seperti orang menggumam.

Sambil berjalan saya perhatikan lebih seksama. Saudara-saudara….ternyata sang ibu itu nampak sedang berbincang. Saya perhatikan lagi lebih detail, ternyataaa…ada tonjolan segi empat dibalik kerudungnya. Yaewlaah…ternyata si Ibu sedang asyik ngobrol pake hape yang sedang disembunyiikan. Ckckck…untuk pulsa saja ibunya bisa beli ya.

Entah ini bukti bahwa perkembangan teknologi sudah semakin dahsyat sampai menyentuh semua lapisan masyarakat.
Yang jelas saya jadi tidak berminat lagi memberi mereka uang. Karena ternyata masalah mereka bukan uang, namun lebih kepada mental untuk bangkit dan bekerja.


Actions

Information

2 responses

24 05 2011
ian.achmadjanuar

sederhana saja, masa salman yang selalu berhasil dengan program kampung bangkit gak punya kepedulian terhadap pengemis di sekitar salman sendiri. aneh kan. Toh ternyata kita sendiri sengaja tidak sengaja akan tersadarkan sendiri, ya memang mental mereka yang rusak total.
aku punya ide untuk orang-orang seperti ini, culik, bawa keluar pulau, karantina, beri pekerjaan. pasti mereka jadi orang berhasil. hijrah dengan cara ekstrem seru kayaknya.

24 05 2011
iyanners

betul Bung Ian (serasa manggil nama sendiri :P). mungkin programnya harus lebih menyentuh mental ya ketimbang pemberian dana cuma2. Oh iya, kalo ga salah cara karantina itu pernah lho dipraktekan Mao Ze Dong di Cina. cuma mungkin agak ekstrim dilakukan di Indonesia yang (katanya) negara demokrasi,hehe
makasi komennya Bung Iyan, tersanjung mantan menteri berkenan mampir di blog ini 🙂

Leave a comment